Konglomerasi Media Massa di Indonesia


(source: Google)
Media massa adalah bagian yang tidak terpisahkan dari peradaban masyarakat kontemporer ini. Di era sekarang, media menempati salah satu posisi yang paling strategis dalam memenuhi kebutuhan masyarakat, baik kebutuhan akan informasi, hiburan, ekonomi, edukasi, maupun kebutuhan lainnya. Kita bisa kaya akan wawasan dan mengetahui fenomena atau berita yang up to date ketika kita “melek media” atau dalam kata lain kita mengikuti pemberitaan yang dilakukan oleh media masa, baik media elektronik, media cetak, maupun media online. Media juga menyediakan berbagai macam hiburan yang dapat memberikan sarana rekreasi bagi kita, seperti acara-acara hiburan dalam berbagai macam di televisi, game online, film, video di internet dan berbagai bentuk hiburan yang disediakan media massa lainnya. Begitupun dalam memenuhi kebutuhan ekonomi, media massa memberikan peluang yang luar biasa seperti penjualan media cetak, penjualan teknologi media, pelayanan jasa iklan dan berbagai peluang ekonomi yang disediakan oleh media. 

(source: Google)
Media benar-benar menjadi bagian yang vital dalam kehidupan manusia sekarang ini, tak terkecuali di Indonesia. Faktanya, kepemilikan atas media massa di Indonesia yang dikonsumsi oleh kurang lebih 250 juta penduduk Indonesia hanya dimiliki oleh 12 pihak saja. 12 grup media dengan pemilik yang memiliki kepentingannya sendiri-sendiri, membanjiri publik dengan tayangan-tayangan dalam kanal-kanal media milik mereka yang memanisfestasikan kepentingan yang jelas bukan merupakan kepentingan publik. 12 grup media itu mengendalikan ribuan media dengan aneka format. Untuk seluruh televisi di negeri ini, baik dalam tingkatan nasional maupun lokal, sebagian besar sahamnya hanya dimiliki oleh 5 orang saja. Seperti Ketua Umum Partai Golongan Karya (Golkar), Aburizal Bakrie memiliki TVOne dan ANTV. Ketua Umum Partai Nasional Demokrasi (Nasdem), Surya Paloh, memiliki MetroTV. Politisi partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Hary Tanoesodibjo, memiliki RCTI, GlobalTV dan MNCTV. Chairul Tanjung memiliki TransTV dan Trans7. Eddy Kurnadi Sariaatmadja memiliki SCTV dan Indosiar. Begitupun dengan media massa berupa stasiun radio dan berbagai macam media Online yang juga hanya dimiliki oleh beberapa pihak saja. Selain itu, pemberitaan yang dilakukan oleh ribuan media massa di Indonesia yang dikuasai oleh beberapa pihak tersebut juga pada dasarnya tidak pernah menyangkut kepentingan masyarakat, namun bertolak dari kepentingan orang-orang dibalik media massa tersebut. Hal inilah yang biasa disebut dengan oligopoli media massa, yang mana media massa hanya dikuasai oleh beberapa pihak saja, dan pemberitaan yang dilakukan hanyalah untuk kepentingan ekonomi, politik dan keuntungan perusahaan dari pihak yang ada dibalik media massa tersebut.

(source: Google)
Konglomerasi ini dilakukan oleh korporasi dengan perusahaan media lain yang dianggap mempunyai visi yang sama. Pembentukan konglomerasi ini dengan cara kepemilikan saham, joint venture merger, atau pendirian kartel komunikasi dalam skala besar. Akibatnya kepemilikan media berpusat pada segelintir orang, contohnya saja dalam hal ini Trans7 dan Trans TV berada pada payung bisnis yang sama yakni Trans Corp yang dikuasai oleh Chairul Tanjung. Global TV, RCTI dan MNC TV bergabung dalam MNC Group yang dimiliki oleh Hary Tanoesoedibyo. TV One dan ANTV bernaung di bawah bendera Bakrie Group dengan Bos utama Abu Rizal bakrie. SCTV yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh Eddy Sariatmadja berada pada lingkaran Surya Citra Media. Serta yang terakhir Metro TV dengan Surya Paloh sebagai pemimpinnya yang termasyhur karena wajahnya sering ditampilkan oleh TV yang dimilikinya sendiri. Intinya, kepemilikan media hanya pada segelintir orang saja, membentuk sebuah gurita media karena satu orang menguasai berbagai media. Mungkin bagi kebanyakan orang nampaknya hal ini sah-sah saja, karena setiap orang pasti akan selalu berusaha untuk mengembangkan usahanya tetapi konglomerasi mempunyai dampak yang sangat berbahaya bagi masyarakat. Konglomerasi yang terjadi di Indonesia menyebabkan satu orang dapat menguasai banyak media muncul, sehingga orang tersebut dapat mengendalikan berbagai media dalam satu waktu, kebijakan yang harus dianut, berita mana yang layak di publikasikan, nilai-nilai yang harus dianut dan sebagainya.
(source: Google)
Selain itu, berita yang disampaikan hanya berita yang dianggap menguntungkan secara ekonomi maupun politik bagi pihak dibalik media. Pada kenyataanya, UU no. 32 tentang penyiaran tersebut tidak terimplementasi sama sekali. Media massa tetaplah menjadi milik segelintir pengusaha dan digunakan atas kepentingan komersil dan politik para pemilik media. Negara gagal dalam mengintervensi fungsi dan kepemilikan media untuk kepentingan bangsa. Yang terjadi justru sebaliknya, penguasa dan pengusaha malah bersama-sama menggunakan media untuk kepentingan mereka masing-masing. Regulasi penyiaran sebagai landasan tata kelola penyiaran indonesia yang berwujud UU tidak relevan sama sekali. Para elit politik kita tidak tanggung-tanggung lagi dalam konglomerasi media massa demi kepentingan politik dan ekonomi mereka dan partainya. Oligopoli media membuat media hanya dipegang segelintir kecil pihak, rakyat benar-benar dirampas haknya oleh konglomerasi media, bahkan hak yang paling mendasar yaitu mendapatkan informasi yang layak dan benar.

(source: Google)

Dari paparan diatas, konglomerasi media di Indonesia sesuai dengan Teori makrospik struktural karena teori tersebut memusatkan perhatiannya kepada bagimana cara institusi media dibangun di dalam perekonomian kapitalis. Teori ini memfokuskan perhatian pada cara elite sosial menjalankan media untuk mendapatkan bahwa para elite kadang-kadang menggunakan media untuk menyebarluaskan budaya hegemonik sebagai cara untuk mempertahankan posisi mereka yang dominan di dalam tatanan sosial. Mereka beranggapan bahwa media digunakan untuk menciptakan dan memasarkan komoditas budaya yang sekilas tidak politis dan berfungsi untuk menghasilkan keuntungan bagi elite-elite tersebut. Rangkaian teori ini disebut teori politik ekonomi karena memprioritaskan untuk memahami bagaimana kekuatan ekonomi menyediakan landasan bagi kekuatan ideologi dan politik.

Komentar

  1. Lucky Club - Online Casino | Lucky Club
    Lucky Club is a new online casino with an exciting new look that we 카지노사이트luckclub are always looking for in 2019. We are a big fan of the games, games,

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perspektif Transmisional Versus Ritual dan Penelitian Terhadap Budaya Populer di Amerika Serikat

Mazhab Frankfurt dan Perkembangan Teori Neo-Marxis di Inggris

Marshall Mcluhan, Harold Innis, Mcluhan